Ternyata Asal Kata “Abah” di Betawi Berasal dari Bahasa Tionghoa

My24hours.net, Indonesia – Tahukah Anda bahwa asal kata “abah” dalam bahasa Betawi ternyata berasal dari bahasa Tionghoa? Berikut uraiannya.

Ternyata Asal Kata "Abah" di Betawi Berasal dari Bahasa Tionghoa

Dalam percakapan sehari-hari di kalangan masyarakat Betawi, kata “abah” sering digunakan sebagai panggilan akrab untuk ayah atau orang tua laki-laki. Panggilan ini dikenal luas sebagai ungkapan penghormatan dan kedekatan, yang diwariskan secara turun-temurun.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa kata “abah” dalam bahasa Betawi ternyata memiliki akar yang kuat dari budaya Tionghoa, lebih tepatnya dari kata “bàba” (爸爸) atau “babah.”

Asal Kata “Abah” di Betawi Berasal dari Bahasa Tionghoa

Pengaruh Budaya Tionghoa di Betawi

Harus diakui fakta bahwa Betawi sebagai etnis lokal yang hidup di Jakarta adalah hasil dari akulturasi berbagai budaya, termasuk Melayu, Arab, India, Portugis, dan tentu saja, Tionghoa.

Komunitas Tionghoa di Batavia, terutama pada masa kolonial, memainkan peran penting dalam perkembangan budaya Betawi. Salah satu dampak dari interaksi ini dapat dilihat dalam penggunaan bahasa sehari-hari.

Kata “babah” dalam dialek Hokkien (salah satu dialek yang umum digunakan oleh Tionghoa peranakan) merujuk pada sebutan untuk ayah atau pria yang dihormati.

Dalam bahasa Mandarin, “bàba” (爸爸, baca: papa) atau “ā bà” (阿爸, dibaca: apa) juga berarti ayah. Kata “baba” kemudian mengalami perubahan fonetik menjadi “babah” (baca: papah) dan berubah lagi menjadi “abah” (baca: apah). Panggilan ini telah lama digunakan oleh komunitas peranakan Tionghoa di Indonesia, khususnya di wilayah yang sekarang menjadi Jakarta.

Melalui proses asimilasi dan kontak budaya yang intens, istilah “abah” (apah) ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Betawi dengan menyesuaikan pengucapannya menjadi “aba” atau “abah” dari semula diucapkan sebagai “apa” atau “apah”. Dan kemudian kata “aba” akhirnya masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya juga sama yaitu ayah.

Proses Perubahan Fonetik

Perubahan fonetik dari “baba” kemudian menjadi “babah” dan menjadi “abah” merupakan contoh umum dalam perkembangan bahasa. Dalam kasus ini, hilangnya salah huruf “b” pada awal kata dan penambahan huruf “h” bisa dilihat sebagai proses penyesuaian bahasa lokal yang menyederhanakan kata agar lebih mudah diucapkan. Proses semacam ini sering terjadi dalam bahasa ketika ada pengaruh dari bahasa asing yang diserap oleh penutur lokal.

Adaptasi ini juga tidak mengubah makna utama dari kata tersebut. Baik “babah” maupun “abah” tetap merujuk pada sosok ayah atau orang tua laki-laki yang dihormati, sesuai dengan fungsinya dalam budaya Tionghoa maupun Betawi. Penggunaan “abah” dalam bahasa Betawi kemudian berkembang menjadi bagian integral dari identitas kebudayaan Betawi sendiri.

Akulturasi Tionghoa-Betawi

Pengaruh kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan masyarakat Betawi bukan hanya terbatas pada bahasa, tetapi juga mencakup berbagai aspek seperti kuliner, pakaian, hingga kesenian. Panggilan “abah” adalah salah satu wujud nyata dari bagaimana budaya Tionghoa telah terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Betawi.

Proses akulturasi ini terjadi secara alami melalui interaksi yang panjang dan mendalam antara kedua kelompok etnis. Pada masa lalu, komunitas Tionghoa yang menetap di Batavia, terutama di daerah Pecinan, berinteraksi erat dengan penduduk lokal. Dari sinilah, banyak aspek bahasa, termasuk istilah seperti “babah,” menyebar dan digunakan oleh masyarakat setempat.

Penggunaan “Abah” di Luar Betawi

Menariknya, kata “abah” tidak hanya digunakan di kalangan masyarakat Betawi. Perubahan fonetik dari kata “baba” dalam bahasa Mandarin menjadi “abah” juga terjadi di luar Indonesia, misalnya dalam novel “The Loyal Daughter” karya Nancy Lam (2022) asal Kanada. Dalam novel tersebut salah satu karakternya menyebut kata “abah” yang merujuk pada ayah si karakter, sedangkan kata “amah” merujuk pada ibu si karakter.

Istilah “aba” (阿爸, dibaca apa) juga ditemukan dalam kosa kata Korea yaitu appa (아빠) yang merujuk pada sebutan kasual untuk ayah. Hal ini terjadi karena bahasa Korea sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bahasa Mandarin.

Kesimpulan

Kata “abah” yang digunakan oleh masyarakat Betawi merupakan salah satu contoh menarik dari akulturasi budaya antara Tionghoa dan Betawi. Berasal dari kata “ā bà” (阿爸, dibaca: apa) dalam dialek Hokkien yang berarti ayah, kata ini mengalami perubahan bentuk dan diserap ke dalam bahasa Betawi. Transformasi ini mencerminkan interaksi yang erat antara komunitas Tionghoa dan masyarakat Betawi selama berabad-abad, menciptakan jalinan budaya yang kaya dan beragam.

Dalam kajian bahasa, fenomena seperti ini menunjukkan bagaimana bahasa dapat berkembang dan berubah melalui kontak budaya, memberikan kita wawasan tentang sejarah sosial dan dinamika antarbudaya. Meskipun sederhana, kata “abah” menyimpan sejarah panjang tentang interaksi dan hubungan yang harmonis antara dua komunitas yang berbeda di Jakarta.[MY24]

BAGIKAN ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA:

Kategori: Gaya Hidup
Kata kunci:
Penulis: