Dengan 10 Cara Media Memanipulasi Pikiran Kita

My24hours.net, Amerika Serikat – Apakah Anda menyadari bahwa selama ini media sering memanipulasi pikiran kita untuk tujuan tertentu terutama untuk bisnis mereka?

Media memanipulasi pemikiran masyarakat dengan 10 cara.
Media memanipulasi pikiran masyarakat dengan 10 cara.

Disadari atau tidak disadari ternyata media termasuk media berita sering memanipulasi pikiran kita untuk peristiwa-peritiwa tertentu seperti perang Suriah, konflik Israel-Palestina, hingga krisis di Myanmar.

Politik dan ekonomi dapat menjadi alasan di balik usaha memanipulasi pemikiran tersebut. Di era digital yang kompetitif ini, media berita berlomba-lomba menarik banyak pembaca/pemirsa agar dapat menarik keuntungan dari iklan yang ditayangkan. Untuk itu sesuatu yang menarik harus disuguhkan, apa pun caranya termasuk dengan memanipulasi pikiran.

Seseorang yang telah dimanipulasi pikirannya mudah untuk diarahkan dan dimanfaatkan. Bayangkan jika ribuan orang termanipulasi pikirannya maka akan menciptakan atau menghancurkan sesuatu.

Noam Chomsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat, hampir 30 tahun lalu menulis tentang strategi manipulasi yang digunakan media.

Menurut Chomsky, ada 10 cara atau strategi media memanipulasi masyarakat. Dan kesepuluh strategi ini memiliki tindakan penangkalnya yang dapat dipelajari dan digunakan oleh partai politik dan LSM yang bertanggung jawab di masyarakat sipil.

Berikut 10 cara media memanipulasi pemikiran kita*
1. Strategi pengalihan

Cara pertama memanupulasi pikiran yaitu menciptakan pengalihan adalah strategi favorit media. Informasi penting tidak diperhatikan di antara sejumlah besar berita remeh. Strategi ini adalah elemen utama pengendalian sosial. Biasanya dilakukan oleh elit politik dan ekonomi atau kelompok tertentu untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari sesuatu yang penting dengan membanjiri berita dengan sesuatu yang tidak penting. Internet tidak memecahkan masalah ini: kita terus mengalihkan perhatian kita pada gambar dan lelucon lucu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa hari ini setidaknya kita punya sebuah pilihan: Anda dapat dengan mudah menyaring informasi yang ingin Anda terima untuk menghindari informasi yang tidak penting.

2. Membuat atau Membesar-besarkan masalah

Membuat masalah yang tidak ada menjadi ada, membuat masalah kecil jadi besar. Cara ini disebut juga “masalah-reaksi-solusi”. Strategi ini membuat sebuah masalah, sebuah “situasi” yang bertujuan untuk menyebabkan reaksi para pembaca/pemirsa. Terkadang masalah imajiner atau berlebihan menimbulkan reaksi yang sangat serius dari masyarakat. Pada tahun 2016, NASA menerbitkan sebuah artikel yang berandai-andai bahwa jika astrologi itu ilmiah maka tanda zodiak akan mengubah posisinya. Misalnya, Virgo akan menjadi Leo. Tapi, Cosmopolitan Inggris memberitakan ini sebagai penemuan ilmiah tanda zodiak baru dan mengklaim bahwa 80% orang berniat mengubah tanda zodiak mereka. Artikel itu menyebar begitu cepat sehingga NASA harus mempublikasikan sebuah pencabutan ulang.

3. Strategi bertahap

Untuk membentuk opini tertentu, memanipulasi pemikiran, Anda bisa menerbitkan materi secara bertahap. Strategi ini digunakan untuk membentuk citra seseorang, produk, atau acara. Agar sesuatu diterima di kalangan tertentu, cukup menerapkannya secara bertahap, setetes demi setetes, selama bertahun-tahun berturut-turut. Misalnya, di media negara yang berbeda, hanya merek makanan tertentu yang disebutkan. Contoh paling jelas dari penggunaan media promosi mungkin adalah mempopulerkan merokok di pertengahan abad ke-20. Contoh di masa sekarang, media-media berita memberitakan topik yang berkaitan dengan peristiwa yang sama tiap hari – berbeda tapi sama intinya.

4. Strategi menunda

Untuk meyakinkan masyarakat menerima keputusan sulit atau tidak populer, media dapat menyebut keputusan itu sebagai “menyakitkan, tapi mutlak diperlukan.” Dan kemudian media mengatakan kepada masyarakat bahwa keputusan tersebut perlu dilakukan besok, bukan hari ini. Strategi memanipulasi pikiran ini digunakan berdasarkan kecenderungan masyarakat yang selalu lebih mudah menerima untuk mengorbankan kepentingan hari esok daripada mengorbankan kepentingan untuk hari ini. Contohnya termasuk pada referendum kemerdekaan atau kediktatoran di negara-negara berkembang, berdasarkan propaganda dan otoritarianisme.

5. Tampil sebagai yang baik hati

Sebagian besar periklanan untuk masyarakat umum menggunakan bahasa, argumen, simbol dan intonasi seperti menghadapi anak-anak. Strategi memanipulasi pikiran dengan gaya komunikasi semacam itu membuat masyarakat kurang kritis. Merek-merek dagang menggunakan bentuk imperatif (bentuk perintah), dan mereka ditujukan untuk perasaan-perasaan dan dorongan yang paling sederhana. Media berita memiliki nada suara atau kalimat yang berkesan melindungi karena mengklaim mereka pasti tahu lebih banyak dari kita.

6. Umbar emosi daripada pemikiran
Era digital, foto-foto dapat digunakan untuk memanipulasi pikiran.
Era digital, foto-foto dapat digunakan untuk memanipulasi pikiran. Foto: ISmuggleJewsForAppleJuice / imgur

Menggunakan aspek emosi adalah teknik klasik yang menyebabkan tumpulnya pemikiran kritis individu. Berita dan emosi selalu berjalan bersama, dan tidak ada yang bagus dari itu. Emosi tidak membiarkan Anda melihat fakta secara kritis dan obyektif. Mereka menghalangi bagian rasional dari pikiran Anda. Hal ini sering menyebabkan distorsi realitas. Semakin menggugah emosi semakin banyak masyarakat mengakses media tersebut. Sebagai contoh, dalam konflik Israel-Palestina, banyak media berita yang menggunakan banyak judul-judul dan foto-foto korban warga Palestina yang mengundang emosi, tapi tidak banyak judul dan foto yang mengundang emosi dari korban warga Israel. Begitu juga dengan krisis di Myanmar. Media-media berita mengumbar foto-foto yang mengundang emosi dari etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai Rohingya, tapi tidak pernah menampilkan kelompok etnis Myanmar lain yang menderita. Dipengaruhi media, Mehmet Simsek (Wakil Perdana Menteri Turki) dan Tifatul Sembiring (mantan Menkoinfo Indonesia) sempat ikut-ikutan menggunakan foto-foto hoax di media sosial dalam menangapi krisis Myanmar.

Foto warga etnis Rakhine di pengungsian
Foto warga etnis Rakhine di pengungsian (31/7/2017) setelah serangan teroris Rohingya ini tidak viral dan tidak banyak digunakan media karena kurang membawa emosi. Foto: STR, AFP (Getty Images).
7. Menjaga agar masyarakat tidak tahu dan biasa-biasa saja

Membuat masyarakat tidak mampu mengetahui apa yang terjadi sehingga bersikap biasa-biasa saja. Media dan pemerintah bisa memanipulasi masyarakat jika masyarakat tidak mendapatkan informasi karena tidak mengetahui caranya. Strateginya cukup dengan tidak memberitakan apa yang terjadi. Memang era digital saat ini memberi kita kesempatan untuk menemukan informasi yang kita butuhkan, tapi tidak semua informasi tersebut dapat diakses, sebut saja karena perbedaan bahasa. Sebagai contoh, krisis Myanmar Agustus 2017, terjadi diawali dengan serangan terorganisir teroris Rohingya (ARSA) terhadap 30 pos keamanan, yang menyebabkan warga berbagai etnis menghuni termasuk mereka yang megklaim diri sebagai Rohingya. Namun, media berita tidak memberitakan luas penyebab awal peristiwa ini. Media hanya memberitakan dampak dan hasil dari serangan itu yang berupa mengungsinya warga, dan itu hanya tertuju pada satu komunitas etnis saja.

8. Mendorong untuk menyukai produk berkualitas rendah

Strategi memanipulasi pikiran lainnya adalah mendorong masyarakat menyukai sesuatu yang tidak bermutu. Media benar-benar menikmati untuk mengatakan secara terselubung kepada masyarakat bahwa menjadi bodoh, vulgar, dan kasar itu adalah sesuatu yang keren. Inilah sebabnya mengapa kita memiliki begitu banyak acara TV, komedi situasi, film yang berserial, tabloid, dan sebagainya. Mereka bukan hanya untuk tujuan rekreasi tapi juga mengalihkan perhatian dari masalah yang benar-benar serius.

9. Membuat orang merasa bersalah

Tujuan dari strategi ini adalah membuat masyarakat atau kelompok tertentu menyalahkan diri mereka sendiri atas masalah lokal dan global. Masyarakat atau kelompok menyalahkan diri mereka sendiri atas perang yang dimulai oleh pemerintah atau oleh kelompok lain, dan bukannya oleh mereka. Pada tahun 2014, foto seorang anak laki-laki yang terbaring di antara makam orang tuanya menjadi viral. Dalam peredarannya, foto tersebut disebut sebagai foto dari zona perang. Sebenarnya, foto itu adalah bagian dari sebuah proyek yang didedikasikan untuk mencintai para kerabat. Penulis gambar itu kaget dengan cara penggunaannya di media. Contoh lain, saat awal krisis Myanmar terjadi (2012) beredar viral foto para bhiksu berjubah merah di kelilingi ratusan jenazah. Dalam peredarannya, foto tersebut siebut foto bhiksu Myanmar melakukan pembunuhan etnis di Myanmar. Tapi faktanya, foto tersebut adalah foto para bhiksu Tibet yang berusaha membantu mengumpulkan jenazah korban gempa di Yushu, Tiongkok tahun 2010.

10. Klaim lebih tahu diri seseorang dari orang itu sendiri

Tidak jarang media memposisikan diri mereka sebagai yang paling tahu segalanya dan sering keluar batas dari yang seharusnya. Pada 2017-2018 terjadi perseteruan antara sejumlah media Amerika Serikat dengan Presiden AS Donald Trump. Sejumlah media seperti TIME, CNN, New York Time, dan ABC News menyebarkan berita yang salah mengenai Donald Trump. Salah satu contoh, CNN menyebarkan berita yang salah mengenai Anthony Scaramucci, yang saat itu menjadi Direktur Komunikasi Gedung Putih, yang berakhir dengan berhentinya 3 jurnalis CNN.[My24]

*Adaptasi dari “10 strategi manipulasi media” oleh Noam Chomsky.

BAGIKAN ARTIKEL INI AGAR LEBIH BANYAK PEMBACA:

Kategori: Teknologi
Kata kunci:
Penulis: