Atasi Boros Belanja dengan Atasi 6 Faktor Psikologi Penyebabnya
My24hours.net, Indonesia – Boros belanja bisa terjadi kapan saja terutama saat menjelang hari raya seperti Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru.
Kadang para penjual sering disalahkan atas kondisi boros belanja karena ada yang menggunakan taktik pemasaran yang mungkin manipulatif bahkan menipu. Namun seharusnya para pembeli secara pribadi bisa mengendalikan perilaku belanja mereka.
Tahukah Anda, antara 40% dan 80% dari pembelian adalah pembelian yang impulsif, hanya karena dorongan hati? Yang lebih memprihatinkan, faktanya adalah hingga 95% dari keputusan harian kita berpotensi ditentukan oleh proses impulsif dan tidak sadar.
Terlalu sering, konsumen tidak mengetahui pengaruh sosial dan kondisi psikologis yang membuat mereka berperilaku boros belanja. Kenyataannya, kebanyakan orang menyukai kekebalan ilusi yang merugikan dan menganggap diri mereka sebagai pembeli yang cerdik.
Anda dapat mengatasi boros belanja dengan menjadi lebih sadar akan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku belanja Anda. Berikut adalah enam faktor yang dapat menyebabkan Anda mengeluarkan terlalu banyak uang, bersama dengan beberapa kiat tentang cara menangkisnya.
Enam Faktor Penyebab Boros Belanja
1. Tekanan Sosial
Manusia sangat rentan terhadap tekanan sosial. Perilaku kooperatif dan kompetitif, yang telah menjamin kelangsungan hidup kita sebagai spesies, juga menyenggol kita untuk menghabiskan lebih dari yang kita butuhkan.
Sebagai contoh, norma sosial timbal balik mengharuskan kita untuk membeli banyak makanan untuk bertukar kunjungan saat Idul Fitri, atau bertukar hadiah saat Natal.
Persaingan juga mendorong konsumsi. Penjualan produk memperkuat rasa kelangkaan akan produk tersebut. Penggunaan batasan waktu oleh produsen memancing rasa takut pada diri pembeli akan kehilangan produk tertentu.
Penjualan kilat, seperti Harbolnas dan Black Friday, menciptakan mental gerombolan, yang dapat memancing membeli secara panik, histeria, atau lebih buruk. Menyadari tekanan ini akan meminimalkan efeknya dan memungkinkan Anda mempertahankan sudut pandang yang sehat.
2. Semakin Banyaknya Uang Abstrak
Konsep uang adalah mitos yang dibagikan bersama, didukung oleh imajinasi manusia. Imajinasi kita telah berperan dalam perkembangan cepat spesies kita, memungkinkan orang untuk menukar potongan kertas dan potongan logam untuk hal-hal yang mereka inginkan. Dari kertas dan koin, hingga kartu debit dan kartu kredit, dan terakhir telepon dan uang elektronik, imajinasi manusia mengakomodasi bentuk uang yang semakin abstrak. Ini berbahaya.
Bentuk-bentuk uang baru ini meringankan “rasa sakit membayar”, mengurangi tingkat rasa bersalah yang kita rasakan ketika berpisah dengan uang. Uang abstrak ini untuk sementara menyembunyikan dampak keuangan dari pembelian kita (saldo bank yang lebih rendah atau dompet yang lebih ringan).
Uang abstrak mengarahkan orang-orang untuk boros belanja tanpa melacak biaya keuangan sebenarnya dari keputusan mereka. Untuk itu gunakanlah uang tunai saat berbelanja. Menggunakan uang tunai saat berbelanja akan meningkatkan rasa sakit karena membayar dan membuat Anda lebih sensitif terhadap berapa banyak yang Anda belanjakan. Pada gilirannya, akan memastikan bahwa Anda hanya membelanjakan uang untuk barang-barang yang benar-benar Anda butuhkan.
3. Kelelahan dalam Mengambil Keputusan
Penelitian menunjukkan bahwa orang memiliki keterbatasan kekuatan tekad. Ketika kita membuat keputusan sepanjang hari, kekuatan untuk mengambil keputusan menjadi habis terkuras. Kurangnya kekuatan untuk mengambil keputusan menyebabkan seseorang bertindak secara impulsif, hanya karena dorongan hati. Melakukan belanja di pagi hari, dan menghindari sumber stres lainnya, seperti kerumunan banyak orang, akan meminimalkan risiko penipisan kekuatan mengambil keputusan.
4. Pola Pikir
Kondisi psikologis yang dikenal sebagai “pola pikir”, yang memengaruhi persepsi dan pengambilan keputusan, juga dapat membuat orang lebih mungkin berbelanja. Mereka terjadi di luar kesadaran kita, ketika proses pemikiran yang kita gunakan dalam satu situasi terbawa dan digunakan untuk memproses informasi lainnya.
Berpikir positif dalam satu situasi dapat memengaruhi seseorang untuk berpikir positif dalam situasi yang tidak terkait. Misalnya, menghasilkan pemikiran yang mendukung tentang memberi untuk amal mungkin membuat seseorang memiliki pikiran positif tentang keampuhan deterjen yang mereka lihat dalam jeda iklan beberapa menit kemudian. Pikiran positif itu membuat seseorang lebih mungkin untuk membelinya.
Pola pikir juga memengaruhi tujuan berbelanja. Orang-orang dengan “pola pikir bersifat konsultasi” berpikiran terbuka dan cenderung meninjau semua pilihan mereka. Sementara orang-orang dengan “pola pikir bersifat implementasi” lebih berpikiran tertutup dan berfokus pada tujuan. Pola pikir implementasi mengurangi penundaan dan memfokuskan orang untuk mengejar tujuan pembelian mereka. Tujuan-tujuan ini dapat secara eksplisit dinyatakan dalam daftar belanja atau bahkan diaktifkan secara tidak sadar.
Pola pikir implementasi bisa berbahaya, karena menciptakan momentum belanja. Saat membeli satu hal membuat Anda lebih cenderung membeli yang lainnya, ini karena pola pikir Anda yang berfokus pada tujuan tersebut tetap aktif bahkan setelah Anda membeli apa yang Anda inginkan. Ini adalah salah satu alasan mengapa saat seseorang hanya pergi untuk membeli satu barang di pusat pembelanjaan tetapi jsutru keluar dengan banyak barang belanjaan. Sayangnya, beralih di antara pola pikir yang berbeda dapat menghabiskan sumber daya mental Anda dan menyebabkan Anda lebih boros belanja.
Untuk itu, membuat peraturan untuk memandu keputusan Anda sebelum Anda pergi berbelanja dapat menangkal efek dari pola pikir ini dan mengurangi risiko momentum belanja. Misalnya, katakan pada diri sendiri bahwa jika suatu produk berada di bawah harga tertentu, Anda akan membelinya, tetapi jika harganya lebih mahal, Anda tidak akan membelinya. Membuat daftar dan menetapkan anggaran akan membantu Anda mengingat pepatah lama, “belanja sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan”.
5. Membuat Perbandingan
Belanja pada dasarnya adalah proses tiga langkah. Pertama Anda bertanya pada diri sendiri, “apakah saya ingin membeli sesuatu?”; lalu, “produk mana yang terbaik?”; dan akhirnya, “bagaimana saya akan membeli produknya?”. Tetapi ketika orang mempertimbangkan dua kemungkinan pembelian, ia menginduksi pola pikir “yang mana yang harus dibeli”, yang membuat mereka melupakan pertanyaan pertama, dan membuat mereka lebih cenderung membeli sesuatu.
Untuk itu tanyakan pada diri sendiri ketika ingin membeli sesuatu, “apakah saya benar-benar membutuhkannya?”
6. Efek Halo
Menggunakan pemotong proses mental membantu kita memandu kehidupan sehari-hari dengan lebih efisien. Namun cara pintas ini juga dapat menyebabkan asumsi (dugaan) yang salah dan kesalahan yang merugikan. Dalam konteks belanja, tidak semua asumsi itu buruk. Memang, beberapa asumsi sangat penting untuk pemasaran. Misalnya, pemberian merek berfungsi karena kita berasumsi bahwa produk di bawah satu merek memiliki tingkat kualitas yang sama.
Tetapi asumsi lain kurang bisa diandalkan. “Efek halo” terjadi ketika kita membuat asumsi yang salah, yang membuat kita berpikir positif tentang sesuatu. Jadi, saat mata melihat penawaran di jendela depan sebuah toko, sering membuat kita berasumsi bahwa penawaran di toko lainnya berlaku sama dan sama murahnya.
Untuk menangkal “efek halo”, Anda harus mempersiapkan diri. Mengetahui harga eceran yang disarankan (HED) dari produk akan memastikan Anda tidak dipengaruhi oleh harga yang memberi kesan didiskon besar tetapi sebenarnya tetap sangat tinggi.
Tetap skeptis (ragu-ragu) dan tenang akan meningkatkan pengambilan keputusan Anda dan mengurangi risiko mendapatkan pengetahuan yang salah. Sikap ini mungkin akan baik untuk masyarakat, lingkungan dan saku Anda.[My24]
Sumber: fin24
Kategori: Sains
Kata kunci: psikologi
Penulis: